IMPLIKASI PERKEMBANGAN
PESERTA DIDIK
TERHADAP PENDIDIKAN
A. Pengertian Perkembangan
Dalam kehidupan anak terdapat dua proses yang
berjalan secara kontinyu, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan
perkembangan pada dasarnya merupakan perubahan, yakni perubahan menuju ke tahap
yang lebih tinggi.
Thonthowi (Desmita, 2008:5) mengartikan pertumbuhan
sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran (size) sebagai akibat dari adanya perbanyakan sel-sel. Sedangkan
menurut Chaplin (Desmita, 2008:5), pertumbuhan adalah pertambahan atau kenaikan
dalam ukuran bagian-bagian tubuh sebagai suatu keseluruhan.
Senada dengan definisi tersebut, Sunarto dan Hartono
(2006:35) menjelaskan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif
yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis. Lebih jauh dijelaskan
pula bahwa pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari
proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak
yang sehat dalam perjalanan waktu tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa istilah pertumbuhan dalam konteks perkembangan merujuk pada
perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu peningkatan dalam ukuran
dan struktur, seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, jantung, dan
sebagainya. Dengan demikian, tidak tepat apabila dikatakan pertumbuhan kecerdasan,
pertumbuhan moral, pertumbuhan karier, dan lain-lain, sebab aspek-aspek
tersebut merupakan perubahan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.
Adapun penjelasan yang lebih rinci
tentang perubahan yang dimaksud sebagai perkembangan, disebutkan dalam Budiamin,
dkk. (2009:2-3) yaitu: (1) perubahan yang berakar pada unsur biologis; (2) mencakup
perubahan struktur maupun fungsi; (3) bersifat terpola, teratur, terorganisasi,
dan dapat diprediksi; (4) meskipun bersifat terpola, perkembangan juga bisa bersifat
unik bagi setiap individu; (5) terjadi secara bertahap dalam jangka waktu yang relatif
lama; dan (6) berlangsung sepanjang hayat mulai dari masa konsepsi hingga
meninggal dunia.
Yusuf (2005:15) mengemukakan
pengertian perkembangan, yaitu perubahan yang progresif dan kontinyu
(berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai akhir hayat.
Sementara itu, Agustiani (2006:27) berpendapat bahwa dalam perspektif
perkembangan sepanjang rentang kehidupan, perkembangan dilihat sebagai
pola-pola ganda yang meliputi perubahan terhadap tingkah laku dan individu yang
berbeda pada kurun waktu yang berbeda pula.
Selanjutnya masih berkaitan dengan
pendidikan, Santrock dan Yussen (Depdikbud, 1999:8) mengatakan bahwa
perkembangan adalah pola perubahan individu yang berawal pada masa konsepsi dan
terus berlanjut sepanjang hayat. Namun perlu diingat bahwa tidak setiap
perubahan yang dialami individu itu merupakan perkembangan.
Berdasarkan beberapa penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa per-kembangan merupakan pola perubahan yang
dialami oleh individu baik dalam struktur maupun fungsi (fisik maupun psikis)
menuju tingkat kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progresif,
berkesinambungan, dan ber-langsung sepanjang hayat.
B.
Pengertian Peserta Didik
Manusia adalah makhluk yang dapat dipandang dari
berbagai sudut pandang. Uraian tentang manusia dengan kedudukannya sebagai
peserta didik, haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh. Sunarto
dan Hartono (2006:2) beranggapan bahwa dalam kaitannya dengan kepentingan
pendidikan, akan lebih ditekankan hakikat manusia sebagai kesatuan makhluk sosial,
kesatuan jasmani dan rohani, dan makhluk Tuhan dengan menempatkan hidupnya di
dunia sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat.
Menurut kamus Echols dan Shadaly (Sunarto dan
Hartono, 2006:2), individu adalah kata benda dari individual yang berarti orang
atau perseorangan. Sedangkan dalam Webster’s yang masih dikutip oleh Sunarto
dan Hartono (2006:2), individu berarti tidak dapat dibagi, tidak dapat dipisahkan,
serta keberadaannya sebagai makhluk yang tunggal dan khas.
Selanjutnya, dalam www.wikipedia.org dijelaskan lebih spesifik
tentang peserta didik:
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan
formal maupun pendidikan
nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Sesuai dengan kutipan-kutipan di atas, dapat
dinyatakan bahwa peserta didik adalah individu dalam arti makhluk sosial dan
makhluk yang berhubungan dengan Tuhan dalam kesatuan jasmani dan rohani, serta
berada dalam suatu sistem pendidikan guna mengembangkan potensi dirinya dalam
mencapai perkembangan yang diinginkan.
C.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang
mutlak diperoleh oleh setiap individu sesuai dengan hak asasi manusia untuk
keberlangsungan kehidupannya. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, oleh
sebab itu banyak gagasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang pendidikan.
Dewey (Burhanuddin dan Sumiati, 2011:i) menyatakan, “education is not a preparation for life, but
education is life itself.” Maksudnya, pendidikan bukanlah persiapan untuk
kehidupan, namun pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian Dewey
menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Dengan demikian, menurutnya umur
pendidikan sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini.
Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah
usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan mereka menuju ke arah kedewasaan agar berguna bagi diri sendiri
dan masyarakat (Purwanto, 2006:8).
Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1)
menjelaskan pula definisi pendidikan, yakni usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Demikian
yang dikutip Syah dalam bukunya Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru (2010:1).
Lebih jauh Syah (2010:10) mengutip pengertian
pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu proses pengubahan sikap
dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Selain defiisi-definisi pendidikan di atas, cobalah untuk
berusaha memahami pandangan Burhanuddin dan Sumiati (2011:68) tentang pilar-pilar
pendidikan menurut UNESCO (United Nation for Education, Scientific,
and Cultural Organization), yaitu: (1) learning
to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning how to live together. Empat
pilar pendidikan tersebut memberikan implikasi bahwa hasil pendidikan dewasa
ini diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang sesuai dengan tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli dan definisi
secara yuridis tentang pendidikan seperti yang telah dikemukakan, dapat ditarik
suatu kesimpulan. Pendidikan adalah proses perubahan pola perilaku individu guna
mengetahui, melaksanakan, dan hidup bersama dengan manusia lainnya untuk
menjadi manusia yang diharapkan, yakni manusia yang mengembangkan potensi dirinya
menuju ke arah kedewasaan dalam kehidupannya.
D.
Implikasi Perkembangan Peserta Didik terhadap
Pendidikan
Manusia pada umumnya berkembang sesuai
dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi
hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh
sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai
peserta didik yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu
sistem pendidikan.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus
sesuai dengan tahapan per-kembangan anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1) programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan
perbedaan individual anak; (2) tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan
secara variatif melalui banyak aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan
berbagai media dan sumber belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara
penuh dengan menggunakan berbagai proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk.,
2009:84).
Aspek-aspek perkembangan peserta didik
yang berimplikasi terhadap proses pendidikan akan diuraikan seperti di bawah
ini.
1.
Implikasi
Perkembangan Biologis dan Perseptual
Secara fisik, anak pada usia sekolah dasar memiliki
karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kondisi fisik sebelum dan
sesudahnya. Karakteristik perkembangan fisik ini perlu dipelajari dan dipahami
karena akan memiliki implikasi tertentu bagi penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Budiamin, dkk. (2009:5) proses perkembangan
biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahan-perubahan dalam tubuh
individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem syaraf, struktur tulang, hormon,
organ-organ inderawi, dan sejenisnya. Termasuk juga di dalamnya perubahan dalam
kemampuan fisik seperti perubahan dalam penglihatan, kekuatan otot, dan
lain-lain. Pemikiran tersebut menuntut perlunya suatu penyelenggaraan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan fisik seperti yang telah
diungkapkan.
Dalam hal ini, Budiamin, dkk. (2009:84) juga berpendapat
bahwa diperlukan suatu cara pembelajaran yang “hidup”, dalam arti memberikan
banyak kesempatan kepada peserta didik untuk memfungsikan unsur-unsur fisiknya.
Dengan kata lain, diperlukan suatu cara pembelajaran yang bersifat langsung.
Cara pembelajaran seperti ini tidak saja akan memunculkan kegemaran belajar, tetapi
juga akan memberikan banyak dampak positif.
Anak usia sekolah dasar sudah lebih mampu mengontrol
tubuhnya daripada anak usia sebelumnya. Kondisi demikian membuat anak SD dapat
memberikan perhatian yang lebih lama terhadap kegiatan pembelajaran yang sedang
berlangsung. Namun, perlu diingat bahwa kondisi fisik tersebut masih jauh dari
matang dan masih terus berkembang. Fisik mereka masih memerlukan banyak gerak
untuk peningkatan keterampilan motorik dan memenuhi kesenangan. Oleh karena
itu, suatu prinsip praktek pendidikan yang penting bagi anak usia sekolah dasar
yaitu mereka harus terlibat dalam kegiatan aktif daripada pasif.
Selanjutnya Budiamin, dkk. (2009:78) mengemukakan
bahwa perkembangan perseptual pada dasarnya merupakan proses pengenalan
individu terhadap lingkungan. Semua informasi tentang lingkungan sampai kepada
individu melalui alat-alat indera yang kemudian diteruskan melalui syaraf
sensori ke bagian otak. Informasi tentang objek penglihatan diterima melalui mata,
informasi tentang objek pendengaran diketahui melalui telinga, objek sentuhan
melalui kulit, dan objek penciuman melalui hidung. Tanpa adanya alat-alat
indera tersebut, otak manusia akan terasing dari dunia yang ada di sekitarnya.
Kondisi perkembangan perseptual pun masih mengalami
penajaman dan penghalusan. Aspek-aspek perseptual ini akan berkembang dengan
baik jika dirangsang dan difungsikan melalui interaksi dengan lingkungan.
Pemenuhan kebutuhan tersebut tentunya tidak bisa dilakukan hanya melalui
pelajaran penjaskes yang mungkin hanya dilaksanakan seminggu sekali.
Seiring dengan perkembangan motorik anak terhadap
kegiatan pendidikan, Yusuf (2005:105) berpendapat bahwa pada anak sekolah dasar
kelas awal tepat sekali diajarkan tentang hal-hal berikut: (1) dasar-dasar keterampilan
menulis dan menggambar; (2) keterampilan berolahraga; (3) gerakan-gerakan
permainan seperti meloncat dan berlari; (4) baris-berbaris secara sederhana
untuk menanamkan kedisiplinan; serta (5) gerakan-gerakan ibadah shalat.
Selanjutnya masih berkaitan dengan perkembangan
biologis dan perseptual anak usia sekolah dasar, Purwanto (2006:66) memaparkan
bahwa suatu keadaan yang berbeda akan menimbulkan reaksi yang berbeda pula pada
diri individu. Misalnya di dalam suatu kelas terdapat seorang anak yang
berambut pirang karena pembawaan dari orang tuanya. Ada kalanya rambut pirang tersebut
menimbulkan perasaan tidak puas atau perasaan rendah diri pada anak itu karena
merasa berbeda dengan teman-temannya. Akan tetapi, mungkin juga rambut pirang
itu akan menjadi suatu kebanggaan karena anak tersebut merasa unik.
Di sinilah kita melihat bahwa perkembangan fisik
peserta didik memegang peranan yang penting terhadap pendidikan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa perbedaan perkembangan fisik harus dihadapi dengan
cara yang tepat oleh para pendidik.
Meskipun tidak sepesat pada masa usia dini,
perkembangan biologis maupun perseptual anak terus berlangsung. Pemahaman
tentang karakteristik per-kembangan akhirnya membawa beberapa implikasi bagi penyelenggaraan
pendidikan di sekolah dasar. Implikasi-imlikasi dimaksud khususnya berkenaan
dengan penyelenggaraan pembelajaran secara umum, pemeliharaan kesehatan dan
nutrisi anak, pendidikan jasmani dan kesehatan, serta penciptaan lingkungan dan
pembiasaan berperilaku sehat.
2.
Implikasi
Perkembangan Intelektual
Perkembangan intelektual erat kaitannya dengan
potensi otak manusia. Menurut Widiasmadi (2010:55), potensi otak manusia hanya
tampak delapan persen sebagai pikiran sadar, sedangkan sisanya 92 persen
disebut alam bawah sadar. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa
potensi otak manusia yang berkaitan dengan perkembangan intelektual hanya
memuat delapan persen saja. Untuk itu, perkembangan intelektual pada peserta
didik perlu dikembangkan.
Proses perkembangan intelektual menurut pendapat
Budiamin, dkk. (2009:5) melibatkan perubahan dalam kemampuan dan pola berpikir,
kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari
lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan
benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghapal doa,
memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman kepada orang lain
merupakan peran proses intelektual dalam perkembangan anak.
Teori Piaget banyak digunakan dalam praktik
pendidikan atau proses pembelajaran, meski teori ini bukanlah teori mengajar. Piaget
(Budiamin, dkk., 2009:108) berpandangan bahwa: (1) pembelajaran tidak harus
berpusat pada guru, tetapi berpusat pada peserta didik; (2) materi yang
dipelajari harus menantang dan menarik minat belajar peserta didik; (3) pendidik
dan peserta didik harus sama-sama terlibat dalam proses pembelajaran; (4) urutan
bahan dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama, karena akan sulit
dipahami oleh peserta didik jika urutannya loncat-loncat; (5) guru harus
memperhatikan tahapan perkembangan kognitif peserta didik dalam melakukan stimulasi
pembelajaran; dan (6) pembelajaran hendaknya dibantu dengan benda-benda konkret
pada anak sekolah dasar kelas awal.
Pendapat lain mengatakan bahwa model pendidikan yang
aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta didik siap sendiri.
Sekolah yang sebaiknya mengatur lingkungan belajar sedemikan rupa sehingga
dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi dalam
proses pembelajaran. Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar,
proses pembelajaran aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk
maju ke tahap berikutnya. Dalam hal ini, pendidik hendaknya menyadari bahwa perkembangan
intelektual anak berada di tangannya (Pristanto, 2011).
Perkembangan intelektual pada anak usia sekolah
dasar sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang
dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Perkembangan intelektual dan
pengalaman belajar anak sangat erat kaitannya. Perkembangan intelektual peserta
didik akan memfasilitasi kemampuan belajarnya. Peserta didik sudah dapat
diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Dalam
mengembangkan daya nalar, caranya dengan melatih peserta didik untuk
mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal.
Misalnya yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, dan sebagainya.
3.
Implikasi
Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Pada dasarnya bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa
bicara, melainkan juga dapat diwujudkan dengan tanda isyarat tangan atau
anggota tubuh lainnya yang memiliki aturan sendiri.
Sangat luas sekali pengertian bahasa dalam
menunjukkan suatu perkem-bangan. Oleh karena itu, salah satu tokoh psikologi
yaitu Wundt (Baradja, 2005:179) mendasarkan teori bahasanya dengan aksioma
paralel, yaitu gerakan-gerakan fisik merupakan pernyataan gerakan-gerakan psikis.
Dengan demikian, terdapat hubungan yang paralel antara gejala batin dengan
gejala luar. Apa yang terlihat dalam raut wajah dan tingkah laku akan
menunjukkan suatu kebutuhan psikologis seseorang.
Menurut Yusuf (2005:118), bahasa sangat erat
kaitannya dengan perkem-bangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu
tampak dalam perkembangan bahasanya, yaitu kemampuan membentuk pengertian,
menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Yusuf pun menuturkan bahwa anak usia
sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan
menguasai perbendaharaan kata. Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan
berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan
cerita yang bersifat kritis (tentang petualangan, riwayat pahlawan, dan
lain-lain). Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju. Dia banyak
menanyakan soal waktu dan sebab akibat. Misalnya, kata tanya yang semula
digunakan hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan “di mana”,
“mengapa”, “bagaimana”, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa yang
sengaja diberikan di sekolah dasar dapat menambah perbendaharaan kata peserta
didik, melatih peserta didik menyusun struktur kalimat, peribahasa,
kesusastraan, dan keterampilan mengarang.
Selanjutnya masih berkaitan dengan bahasa, Budiamin,
dkk. (2009:111) memperkirakan sekitar 50 bahasa isyarat digunakan di seluruh
dunia. Penggunaan bahasa isyarat ini diduga mempengaruhi pemrosesan informasi
dan belajar.
Budiamin, dkk. (2009:117) kemudian memaparkan
implikasi perkembangan bahasa pada peserta didik. Lihat pula Depdikbud (1999:
147).
1. Apabila
kegiatan pembelajaran yang diciptakan bersifat efektif, maka perkembangan
bahasa peserta didik dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya apabila kegiatan
pembelajaran berjalan kurang efektif, maka dapat diprediksi bahwa perkembangan
bahasa peserta didik akan mengalami hambatan.
2. Bahasa
adalah alat komunikasi yang paling efektif dalam pergaulan sosial. Jika ingin
menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk mendapatkan hasil pendidikan yang
optimal, maka sangat diperlukan bahasa yang komunikatif dan memungkinkan
peserta didik yang terlibat dalam interaksi pembelajaran dapat berperan secara
aktif dan produktif.
3. Meskipun
umumnya anak SD memiliki kemampuan potensial yang berbeda-beda, namun pemberian
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa sejak dini sangat diperlukan.
4.
Implikasi
Perkembangan Kreativitas
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai
kemampuan berpikir dan bersikap tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak
biasa guna menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan.
Menurut pendapat Galdner (Depdikbud, 1999:88),
kreativitas merupakan suatu aktivitas otak yang terorganisasikan, komprehensif,
dan imajinatif tinggi untuk menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karena
itu, kreativitas lebih dikatakan sebagai suatu yang lebih inovatif daripada
reproduktif.
Desmita dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2008:176) memaparkan tentang perhatian para
psikolog dan kalangan dunia pendidikan terhadap kreativitas sebagai salah satu
aspek dari fungsi kognitif yang berperan dalam prestasi anak di sekolah, yang
bermula dari pidato Guilford tahun 1950. Guilford dalam pidatonya menegaskan
bahwa kreativitas perlu dikembangkan melalui jalur pendidikan guna
mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan seni.
Menyadari posisi strategis kreativitas dalam
kehidupan peserta didik, perlu dikemukakan berbagai upaya yang dapat mendukung
pengembangan kreativitas terhadap pendidikan. Namun dalam kenyataannya, kreativitas
bukanlah sesuatu yang diajarkan kepada peserta didik, melainkan hanya
memungkinkan untuk dapat dimunculkan.
Oleh sebab itu, Treffinger (Depdikbud, 1999:105)
mengemukakan sejumlah pengalaman belajar yang dapat dikembangkan oleh pendidik
agar mampu mendorong kreativitas peserta didik, khususnya dalam proses pembelajaran.
Hal tersebut antara lain guru diharapkan dapat menyajikan materi pembelajaran,
menyiapkan berbagai media, menggunakan pendekatan pembelajaran yang
memungkinkan posisi peserta didik sebagai subjek daripada objek pembelajaran,
serta mengadakan evaluasi yang tepat sehingga mampu mendukung pengembangan
kreativitas peserta didik.
5.
Implikasi
Perkembangan Sosial
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial.
Sejak dilahirkan, bayi sudah termasuk ke dalam masyarakat kecil yang disebut
keluarga. Ketika kecil, mulanya anak-anak hanya mempunyai hak saja. Di dalam
rumah tangga ia mempunyai hak untuk dipelihara dan dilindungi oleh orang
tuanya. Namun, lama-kelamaan keadaan itu berubah. Anak-anak yang pada mulanya
hanya mempunyai hak saja, berangsur-angsur mempunyai kewajiban.
Lingkungan sosial merupakan pengaruh luar yang
datang dari orang lain. Selain itu, yang termasuk lingkungan sosial ialah
pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pendidikan adalah
pengaruh-pengaruh yang disengaja dari anggota berbagai golongan tertentu,
seperti pengaruh ayah, nenek, paman, dan guru-guru.
Purwanto (2006:171) mengatakan bahwa tugas dan
tujuan pendidikan sosial adalah: (1) mengajar anak-anak yang hanya mempunyai
hak saja, menjadi manusia yang sadar akan kewajibannya terhadap bermacam-macam
golongan dalam masyarakat; dan (2) membiasakan anak-anak mematuhi dan memenuhi
kewajiban sebagai anggota masyarakat.
Dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk sosial,
senantiasa selalu tumbuh dalam diri seorang anak yang dimaksud dengan
perkembangan sosial.
Budiamin, dkk. (2009:123) berpandangan bahwa
perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial yang
erat kaitannya dengan pencapaian kemandirian. Sementara itu, Sunarto dan
Hartono (2006:143) berpendapat bahwa perkembangan sosial adalah berkembangnya
tingkat hubungan antarmanusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup
manusia.
Senada dengan kedua pendapat di atas, Yusuf
(2005:122) mengemukakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses belajar
untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, tradisi, atau
meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang saling berkomunikasi dan bekerja
sama. Anak dilahirkan belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain.
Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara
menyesuaikan diri dengan orang lain, termasuk dengan teman sebaya.
Berkat perkembangan social, seorang anak dapat
menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan
masyarakat sekitar. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan
sosial ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik dengan memberikan tugas-tugas
kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun pikiran. Tugas-tugas
kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk
menunjukkan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang
kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab.
Dilihat dari pemahaman terhadap aspek perkembangan sosial
pada peserta didik, terdapat beberapa implikasi menurut Budiamin, dkk.
(2009:128), yaitu: (1) untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam
menyadari dan menghayati pengalaman sosialnya, dapat dilakukan aktivitas-aktivitas
bermain peran yang ditindaklanjuti dengan pembahasan di antara mereka; (2) keberadaan
teman sebaya bagi anak usia sekolah dasar merupakan hal yang sangat berarti,
bukan saja sebagai sumber kesenangan bagi anak melainkan dapat membantu
mengembangkan banyak aspek perkembangan anak. Ini mengimplikasikan perlunya
aktivitas-aktivitas pendidikan yang memberikan banyak kesempatan kepada peserta
didik untuk berdialog dengan sesamanya.
6.
Implikasi
Perkembangan Emosional
Emosi menurut Sarwono (Yusuf, 2005:115) merupakan
keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif, baik pada tingkat
lemah maupun pada tingkat yang luas. Baradja (2005:221) kemudian mengemukakan
beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu dalam
pembelajaran, di antaranya: (1) memperkuat dan melemahkan semangat apabila
timbul rasa senang atau kecewa atas hasil belajar yang dicapai; (2) menghambat
konsentrasi belajar apabila sedang mengalami ketegangan emosi; (3) menggangu
penyesuaian sosial apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati; dan (4) suasana
emosional yang dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di
kemudian hari.
Demikian pula Hurlock (1978:211) mengungkapkan
secara jelas bahwa emosi mempengaruhi cara belajar anak, yaitu: (1) menyiapkan
tubuh untuk melakukan tindakan; (2) reaksi emosional apabila diulang-ulang akan
berkembang menjadi kebiasaan; (3) emosi merupakan suatu bentuk komunikasi; (4) emosi
mewarnai pandangan anak; dan (5) emosi dapat menggangu aktivitas mental.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa emosi merupakan
faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk
pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan senang, bersemangat,
atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk berkonsentrasi terhadap
aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, aktif dalam
berdiskusi, mengerjakan tugas, dan sebagainya (Yusuf, 2005:181).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Yusuf, dapat
diuraikan bahwa jika yang menyertai proses belajar itu emosi negatif seperti
perasaan tidak senang dan kecewa, maka proses belajar akan mengalami hambatan,
dalam arti peserta didik tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar
sehingga kemungkinan besar akan mengalami kegagalan dalam belajarnya.
Begitu pentingnya faktor perkembangan emosional
dalam menentukan keberhasilan belajar peserta didik, Desmita (2008:173)
mengutip pernyataan DePorter, Reardon, dan Singer-Nourie dalam buku mereka yang
sangat terkenal Quantum Teaching:
Orchestrating Student Success, yang menyarankan agar para pendidik memahami
emosi para siswa. Memperhatikan dan memahami emosi siswa dapat membantu
pendidik mempercepat proses pembelajaran yang lebih bermakna dan permanen.
Memperhatikan dan memahami emosi siswa berarti membangun ikatan emosional
dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan
menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Melalui kondisi belajar di
maksud, para siswa akan lebih ikut serta dalam kegiatan sukarela yang
berhubungan dengan bahan pelajaran.
7.
Implikasi
Perkembangan Moral
Purwanto (2006:31) berpendapat, moral bukan hanya memiliki
arti bertingkah laku sopan santun, bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti
kepada orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu. Selalu berkata
jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesama manusia,
mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras, berperasaan halus, dan
sebagainya, termasuk pula ke dalam moral yang perlu dikembangkan dan ditanamkan
dalam hati sanubari anak-anak.
Adapun perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan
yang berkaitan dengan aturan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh
manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Desmita, 2008:149).
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui
beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan langsung, seperti diungkapkan
oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang
tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya.
Selanjutnya masih menurut Yusuf (2005:182), pada
usia sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti tuntutan dari orang tua atau
lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami alasan yang
mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya, dia
memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua
merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap
hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik.
Selain pemaparan di atas, Piaget (Hurlock, 1980:163)
memaparkan bahwa usia antara lima sampai dengan dua belas tahun konsep anak
mengenai moral sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan
salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai
memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Misalnya
bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang lebih
besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh karena
itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan
keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan
dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi
anak-anak dalam pengembangan moral dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan
pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada di
luar kelas. Dengan demikian, pembinaan perkembangan
moral peserta didik sangat penting karena percuma saja jika mendidik anak-anak
hanya untuk menjadi orang yang berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya
tidak dibangun dan dibina.
8.
Implikasi
Perkembangan Spiritual
Anak-anak sebenarnya telah memiliki dasar-dasar
kemampuan spiritual yang dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan
ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk
melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ juga.
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali
meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang menempatkan perilaku
dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto (2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan yang
dilakukan terhadap manusia berbeda dengan “pendidikan” yang dilakukan terhadap
binatang. Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak terletak pada perkem-bangan
biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan jasmani. Akan tetapi,
pendidikan pada manusia harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya.
Itulah kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah Swt., yaitu dianugerahi
fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal penciptanya, yang membedakan
antara manusia dengan binatang. Fitrah ini berkaitan dengan aspek spiritual.
Berkaitan dengan perkembangan spiritual yang membawa
banyak implikasi terhadap pendidikan, diharapkan muncul manusia yang
benar-benar utuh dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama
nampaknya harus tetap dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program
pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama,
mustahil SQ dapat berkembang baik dalam diri peserta didik.
9.
Implikasi
Perkembangan Karier
Salah satu aspek perkembangan anak usia sekolah
dasar yang perlu mendapat perhatian khusus adalah perkembangan karier. Menurut
Budiamin, dkk. (2009:154), karier adalah perjalanan hidup individu yang
bermakna melalui serangkaian kesuksesan. Disebutkan pula bahwa sesuatu bisa
disebut karier jika mengimplikasikan adanya: (1) pendidikan yang diwujudkan dengan
keahlian tertentu, (2) keberhasilan, (3) dedikasi atau komitmen, dan (4)
kebermaknaan personal dan finansial.
Mengenai pengembangan karier pada anak usia SD,
Parson (Budiamin, dkk., 2009:154) mengemukakan dua langkah pengambilan
keputusan karier. (1) perolehan pemahaman diri, yaitu pemahaman secara jelas
tentang sikap, prestasi, kemampuan, minat, nilai-nilai, dan kepribadian. Sejak
dini anak usia SD dibimbing untuk memahami hal-hal tersebut. Misalnya, anak
usia SD sudah mulai diajak mendiskusikan kelebihan dan kekurangan diri sendiri
dilihat dari prestasi belajarnya, diajak mendiskusikan minat-minatnya, dan
berbagai hal lain yang terkait dengan ciri-ciri dirinya; (2) memperoleh pengetahuan
tentang dunia kerja yang mencakup pengetahuan tentang informasi tipe lapangan
kerja.
Dalam memfasilitasi perkembangan karier anak usia
sekolah dasar, orang tua dan guru hendaknya mengenalkan bidang-bidang karier
yang ada, terutama yang dekat dengan lingkungan anak. Jika stimulasi
perkembangan karier dilakukan seperti ini, maka yang perlu ditekankan adalah agar
anak berpikir dan terdorong agar ingin menjadi orang yang berkarier.
Guna menumbuhkan perasaan dan keyakinan mampu
berkarya atau berprestasi, sekolah perlu memberi peluang kepada peserta didik
untuk meraih sukses dalam pengalaman belajarnya, seperti memberikan alternatif
pilihan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menunjukkan kelebihan-kelebihan
yang dimilikinya (Depdikbud, 1999:192).